Oleh: Prof. Dr. Mukhtar Latif, M.Pd.
(Guru Besar UIN Sutha Jambi)
Generasi Gentis (Generasi Perintis) dan Gen Z
Redaksijambi.com.- Sumpah Pemuda yang dikumandangkan pada 28 Oktober 1928 menjadi simbol tekad pemuda untuk melahirkan Indonesia yang merdeka. Kala itu, generasi ‘gentis” generasi perintis hanya sekitar tujuh persen dari total penduduk Hindia Belanda yang berjumlah 60 juta jiwa (Ricklefs, 2018, hlm. 214). Walau kecil secara jumlah, mereka besar dalam cita dan gagasan. Di bawah keterbatasan fasilitas dan tekanan kolonialisme, para pemuda tetap menyuarakan persatuan dan identitas kebangsaan yang melampaui sekat etnis dan daerah.
Berbeda dengan generasi perintis, Generasi Z masa kini hidup dalam dunia yang terbuka dan serba digital. Mereka yang lahir antara 1997–2012 kini mencapai 27,94 persen dari total penduduk Indonesia atau sekitar 75,5 juta jiwa (BPS, 2023). Mereka fasih dalam teknologi, berpikir cepat, dan berani mengekspresikan diri. Namun, tantangan mereka bukan lagi penjajahan fisik, melainkan banjir informasi, krisis identitas, dan arus globalisasi yang mengikis nilai kebangsaan. Jika generasi gentis menumpahkan darah demi kemerdekaan, maka Gen Z ditantang menumpahkan gagasan demi keberlanjutan bangsa di dunia yang serba berubah.
Teori Pergerakan Dunia yang Mengukir Sejarah Peradaban Bangsa
Gerakan Sumpah Pemuda dapat dijelaskan melalui teori Social Movement dari Charles Tilly (2004) yang menegaskan bahwa gerakan sosial lahir dari kesadaran kolektif, organisasi, dan peluang politik. Dalam konteks 1928, kesadaran kolektif itu tumbuh dari pertemuan pelajar dari berbagai daerah seperti Jong Java, Jong Sumatera, dan Jong Islamieten Bond. Dari pertemuan-pertemuan itu lahirlah tekad bahwa mereka bukan lagi sekadar “anak daerah”, melainkan “bangsa Indonesia.”
Teori Youth Agency dari Bessant (2020) juga menegaskan bahwa pemuda bukan hanya penerus, tetapi pencipta sejarah. Para pemuda 1928 menulis sejarah dengan tangan mereka sendiri, membangun arah bangsa melalui nilai dan komitmen. Sementara itu, Gen Z kini bergerak di dunia digital. Aksi mereka tidak selalu turun ke jalan, tetapi bisa bermula dari unggahan, gerakan hashtag, atau kampanye sosial. Penelitian Nugroho dan Siregar (2022, hlm. 88) menunjukkan bahwa gerakan digital seperti “Reformasi budaya korupsi dan Save KPK’ membuktikan bahwa semangat Sumpah Pemuda masih hidup, meski tampil dalam ruang virtual.
Sumpah Pemuda untuk Siapa: Antara Cita, Harapan, dan Kenyataan
Sumpah Pemuda bukan hanya warisan sejarah, tetapi juga kompas moral bagi bangsa. Dulu, cita-citanya adalah meraih kemerdekaan dan mengakhiri penjajahan. Kini, cita-citanya bertransformasi menjadi kemajuan dan keadilan sosial. Namun, sebagian pemuda kini mengalami disorientation of value, kehilangan arah di tengah derasnya arus global.
Hasil survei LIPI (2023) menunjukkan bahwa hampir separuh atau 48% pemuda Indonesia menilai nasionalisme tidak lagi menjadi prioritas utama. Banyak di antara mereka lebih fokus pada ekonomi dan gaya hidup. Padahal, nasionalisme seharusnya tidak hilang dalam globalisasi; ia justru harus menyesuaikan diri. Kesetiaan pada bangsa kini dapat diwujudkan dengan menjaga ruang digital dari ujaran kebencian, menebarkan narasi kebangsaan, dan menguatkan solidaritas lintas budaya.
Dengan demikian, pertanyaan “Sumpah Pemuda untuk siapa” dijawab oleh konteks zaman: untuk setiap anak muda yang masih percaya bahwa Indonesia harus diperjuangkan, bukan hanya dinikmati. Makna “sumpah” kini bukan lagi sekadar janji di kongres, tetapi komitmen moral dan eksis dalam kehidupan digital.
Pemuda dan Masa Depan: Keniscayaan Era Global dan Digital
Era global dan digital memberikan ruang luas bagi pemuda untuk berkarya. Laporan BPS (2024) mencatat bahwa lebih dari 56% pelaku usaha digital baru di Indonesia berusia di bawah 30 tahun. Ini bukti bahwa semangat perintis belum padam, hanya berubah bentuk: dari perlawanan fisik menjadi inovasi ekonomi kreatif.
Namun, di tengah peluang itu, ancaman juga mengintai. Riset Santoso (2022, hlm. 134) mengungkap bahwa 62% remaja Indonesia lebih merasa “warga dunia” dibanding warga negara. Fenomena ini menandakan kaburnya batas identitas nasional. Oleh karena itu, revitalisasi nilai Sumpah Pemuda menjadi penting. Pendidikan karakter berbasis digital, literasi sejarah, dan narasi nasionalisme di media sosial harus digalakkan (Zamzami, 2023).
Pemuda masa kini tidak cukup hanya cerdas teknologi, tetapi juga harus memiliki jiwa kebangsaan digital, yakni generasi yang menguasai dunia maya tanpa kehilangan akar budaya. Sumpah Pemuda versi modern bukan lagi sekadar teks, melainkan tindakan konkret menjaga keberagaman di dunia daring.
Penutup
Sumpah Pemuda adalah energi moral yang tak lekang waktu. Ia hidup dalam setiap generasi yang mau memaknai ulang semangat persatuan. Bagi generasi gentis, sumpah itu adalah panggilan untuk melawan penjajahan; bagi Gen Z, ia adalah panggilan untuk melawan apatisme dan kehilangan makna.
Kini, ketika dunia serba cepat dan batas negara nyaris hilang, Sumpah Pemuda tetap menjadi jangkar moral bangsa. Ia mengingatkan bahwa kemajuan teknologi tidak boleh memutus akar sejarah. Indonesia akan tetap kuat selama pemudanya menjaga tiga hal: persatuan, tanggung jawab, dan kejujuran intelektual.
Maka, jika dulu Sumpah Pemuda lahir dari ruang kongres, kini ia harus lahir dari ruang digital, dari ide, gagasan, dan kreativitas dan inovasi yang membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih bermartabat.
Referensi:
Badan Pusat Statistik. (2023). Profil Generasi Z Indonesia 2023. Jakarta: BPS RI.
Badan Pusat Statistik. (2024). Statistik Ekonomi Kreatif Indonesia. Jakarta: BPS RI.
Bessant, J. (2020). Young People and Social Change. London: Routledge.
LIPI. (2023). Survei Nasionalisme Generasi Muda Indonesia. Jakarta: LIPI Press.
Nugroho, Y., & Siregar, A. (2022). Digital Movement and Youth Activism in Indonesia. Jurnal Komunikasi Global, 14(2), 85–99.
Ricklefs, M. C. (2018). A History of Modern Indonesia Since c.1200 (5th ed.). London: Palgrave Macmillan.
Santoso, D. (2022). Digital Identity and Nationalism among Indonesian Youth. Indonesian Journal of Social Research, 3(1), 120–138.
Tilly, C. (2004). Social Movements, 1768–2004. Boulder: Paradigm Publishers.
UNESCO. (2023). Youth, Digital Culture and Social Cohesion. Paris: UNESCO Press.
Wahyudi, R. (2023). Pemuda dan Nasionalisme di Era Digital. Yogyakarta: UGM Press.
Yusra, A., & Latif, M. (2024). Sumpah Pemuda dalam Perspektif Pendidikan Karakter Digital. Jurnal Pendidikan Islam dan Kebangsaan, 12(1), 44–61.
Zamzami, M. (2023). Revitalisasi Nilai Nasionalisme pada Gen Z. Jakarta: Gramedia Pustaka.***
Sumber : Diskominfoprov
