Data, Mandat UNESCO, dan Fakta Lapangan”
Penulis : Dr. AGUS, S.Sos., M.Hum, CIIQA
Alumni Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parhayangan, Dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi dan General Manager Merangin Jambi UNESCO Global Geopark.
Redaksijmabi.com.-nti sanggahan, Tulisan “kebanggaan global vs penderitaan lokal” menyentil isu penting kesejahteraan warga tetapi jatuh pada dikotomi yang menyesatkan dan menyederhanakan realitas pengelolaan UNESCO Global Geopark (UGGp). Revalidasi UGGp bukan seremoni administratif, melainkan audit kinerja menyeluruh atas tiga pilar: perlindungan (konservasi), edukasi, dan pembangunan berkelanjutan berbasis partisipasi warga. Itu mandat dasarnya, bukan “bonus” opsional. (UNESCO Document Repository)
1) Revalidasi UNESCO: Audit Kinerja, Bukan Seremoni
UNESCO mewajibkan Penilaian Ulang (Revalidadi) oleh asesor independen setiap empat tahun. Merangin Jambi UNESCO Global Geopark berdasarkan Ketentuan UNESCO akan direvalidasi pada bulan Mei 2025, Hasilnya tegas: green card / yellow card / red card atau pencabutan status bila kinerja buruk. Ini bukti bahwa revalidasi menilai praktik riil, bukan sekadar berkas. Jadwal resmi juga jelas: Penyampaian Dosier oleh Pemerintah Indonenesia melalui Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO paling lambat 31 Januari, Revalidasi akan dilaksanakan pada Mei s.d Agustus. ([articles.unesco.org]
Fakta global terbaru memperlihatkan banyak situs mendapatkan green dan sebagian yellow/red, yang menegaskan evaluasi UNESCO bersifat substantif, bukan simbolik. (UNESCO).
2) “Prestise tanpa manfaat”? Cek rekam jejak Merangin UNESCO Global Geopark.
Memahami Geopark tak bisa utuh dipelajari dalam satu tahun, apalagi menilai manfaat tak bisa dengan anekdot. Merangin Jambi UGGp diakui dunia dan yang sering luput disebut mendapat Best Practice Award 2023 pada Konferensi Internasional UGGp di Marrakesh. Penghargaan ini diberikan pada praktik yang dinilai memberi dampak dan dapat direplikasi. Ini indikator proses belajar-kinerja yang berjalan, bukan “papan nama”. (Jambi One – Portal Berita Paling Jambi, [merdeka.com)
Dari sisi dukungan pemerintah, Pemkab Merangin dan Pemerintah Provinsi Jambi mengalokasikan anggaran operasional penguatan geopark dan rutin menyelenggarakan pelatihan pemandu serta promosi wisata ilmiah (geotourism) selama 2023–2025, Agenda resmi dan pemberitaan daerah menunjukkan kesinambungan program. Sekali lagi, bukan seremoni. ([ResearchGate], [globalgeopark.org]
3) Soal “penderitaan lokal”: masalah struktural yang tidak bisa digeneralisasi
Apakah semua warga “menderita” karena geopark? Data BPS Merangin (Maret 2024) menunjukkan kemiskinan turun menjadi 8,40% (–0,50 poin persentase yoy). Tidak ada dasar empiris untuk menyimpulkan kemerosotan kesejahteraan akibat status UGGp. Tentu penurunan kemiskinan tidak otomatis karena geopark semata namun narasi “penderitaan lokal” yang menyapu rata jelas tak didukung data. (meranginkab.bps.go.id). yang terjadi Adalah banyak Praktek baik pemberdayaan Masyarakat yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Perguruan tinggi, NGO, Perusahaan Swasta, BUMN serta kelompok penggiat didalam Masyarakat, mulai dari pembentukan kelompok geowisata Arung Jeram, Penggiat Kopi, Pengrajin Batik, Gaopark Goes to school/school goes to geopark sampai kepada kegiatan Program kampung iklim dan masih banyak lagi best practice yang dilakukan oleh semua stake holder.
Isu PETI (tambang emas ilegal) yang sering dijadikan contoh “penderitaan” adalah masalah lama dan lintas-sektor (hukum, ekonomi, tata ruang), berada di luar kewenangan teknis badan pengelola geopark. Aparat Polda Jambi dan pemda menindak PETI secara khusus, minggu lalu tim terpadu juga melakukan operasi Peti pada aktivitas peti yang mendekat ke situs gologi, tentu ini dilakukan dengan sangat hati hati dan terpadu, ini menunjukkan problemnya di ranah penegakan hukum dan tata kelola sumber daya, bukan “efek geopark”.
4) Tiga pilar UNESCO itu mengharuskan manfaat ke warga dan diaudit
UNESCO menegaskan UGGp adalah pendekatan bottom-up yang “merayakan warisan bumi sambil menguatkan komunitas lokal”. Pengelola wajib punya rencana manajemen yang memenuhi kebutuhan sosial–ekonomi warga, melindungi lanskap, dan menghargai identitas budaya. Ini bukan jargon; ini kriteria yang diperiksa saat revalidasi. ([UNESCO], [en.unesco.org])
Contoh dari Indonesia: Gunung Sewu (DIY–Jateng–Jatim) kembali meraih green card dalam revalidasi, yang hanya mungkin jika indikator manfaat lapangan terpenuhi. Ini menegaskan standar UNESCO bukan basa-basi. ([Geopark Merangin]
5) Mengoreksi teknik argumentasi artikel tandingan
Tulisan yang disanggah memakai generalisasi “prestise vs derita” dengan mengutip studi kasus di tempat lain lalu ditransplantasi ke Merangin tanpa kontrol konteks. Padahal setiap geopark memiliki konfigurasi sosial-ekologis berbeda (tipologi geositus, struktur ekonomi lokal, tingkat keterlibatan warga, beban legal eksternal seperti PETI). UNESCO secara eksplisit menghindari pendekatan satu resep untuk semua; mereka menilai rencana, pelaksanaan, dan keterlibatan warga di lokasi yang diaudit. ([UNESCO Document Repository])
6) Agenda perbaikan yang konkret (bukan dikotomi)
Alih-alih memperuncing dikotomi, berikut agenda teknokratik yang bisa ditempuh 6–12 bulan menjelang revalidasi 2026:
1. Indikator manfaat warga terukur. Rilis dashboard publik triwulanan: jumlah dan porsi pelaku UMKM geowisata yang terus berkembang, pendapatan rata-rata pemandu/homestay berkembang dengan hospitality yang baik, partisipasi Perempuan dalam kelompok pembatik dan kerajinan serta Proglim, serta keterlibatan sekolah/perguruan tinggi. (Sejalan dengan semangat “Celebrating Earth Heritage, Sustaining Local Communities”. ([en.unesco.org])
2. Matriks konservasi–edukasi–ekonomi per geositus: target tutupan vegetasi, jumlah kegiatan kurikulum geopark per semester, dan konversi kunjungan edukatif menjadi transaksi lokal (metodologi sederhana input–output).
3. Kemitraan penegakan dan transisi ekonomi di kantong rawan PETI: integrasi operasi penertiban dengan paket alternatif penghidupan (pelatihan pemandu, kerajinan berbasis geowarisan, akses KUR/UMi). Pengelola geopark menyediakan pipeline pasar; aparat fokus menekan eksternalitas ilegal.
4. Audit sosial independen tahunan (PT/LSM kampus Jambi) agar klaim “manfaat” dan “penderitaan” diuji secara terbuka, mengurangi ruang hiperbola dan memperkuat legitimasi publik.
5. Geopark kekurangan tenaga ahli/pakar.
Merangin Jambi UGGp tak kekurangan tenaga ahli atau pakar, Kalaborasi dengan Universitas Jambi makin intens dalam pengembangan ilmu pengetahuan melalui Tridahrma Perguruan Tinggi, Merangin Jambi dijadikan sebagai Laboratorium Kebumian sebagai lokus penelitian dan kuliah lapangan peneliti, dosen, mahasiswa dan siswa-siswi. Penyusunan Dosier yang sedang dilaksanakan dilakukan secara mandiri oleh Tim Badan Pengelola Geopark dengan Universitas Jambi, bahkan General Manager Merangin Jambi UNESCO Global Geopark telah ditunjuk oleh Badan Geologi sebagai Asessor Geopark Indonesia yang baru-baru ini telah melalukan Asessmen sekalian menyiapkan Geopark Ranah Minang Silokek menjadi aspiring UNESCO Global Geopark.
Penutup: Dari retorika dikotomis ke bukti yang bertumbuh
Status UGGp memaksa kita bekerja di tiga rel sekaligus: melindungi, mendidik, menyejahterakan. Merangin Jambi UGGp sudah punya pijakan, rekognisi internasional, program pelatihan, dan tren kemiskinan yang membaik, tetapi masih butuh penguatan data manfaat mikro dan tata kelola lintas-sektor (terutama menekan PETI). Mengganti dikotomi “kebanggaan vs penderitaan” dengan manajemen berbasis bukti adalah cara paling adil untuk warga sekaligus paling kredibel di mata asesor UNESCO. ([Jambi One – Portal Berita Paling Jambi][6], [meranginkab.bps.go.id])
Revalidasi 2026 adalah stress test integritas tata kelola Merangin Jambi UGGp, dan cara terbaik adalah menajamkan data manfaat, memperkuat kemitraan dan penegakan hukum, serta menjaga konsistensi tiga pilar UNESCO di lapangan. Bukan dengan retorika biner, melainkan angka, aksi dan akuntabilitas dan terus berproses untuk Pengelolaan lingkungan berkelanjutan