MAKANAN BERGIZI GRATIS: URGENSI, TANTANGAN, DAN MASA DEPAN KETAHANAN GIZI NASIONAL

Oleh : Ruwaida, Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina

Redaksijambi.com.Jambi.- Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintah pada awal 2025 menjadi salah satu kebijakan publik paling ambisius dalam sektor pembangunan manusia. Program ini dirancang untuk memberikan satu kali makan bergizi bagi anak sekolah, ibu hamil, dan kelompok rentan lain di seluruh Indonesia. Di tengah tantangan stunting, anemia, dan ketimpangan gizi antarwilayah, kebijakan ini lahir sebagai respons terhadap kebutuhan mendesak: memastikan generasi Indonesia tumbuh sehat, cerdas, dan berdaya. Namun pelaksanaannya yang luas dan kompleks membawa dinamika baru yang perlu dicermati secara kritis.

Secara empiris, urgensi program ini dapat dilihat dari data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024, yang mencatat prevalensi stunting nasional menurun menjadi 19,8%. Angka ini menunjukkan kemajuan, tetapi masih jauh dari target ideal untuk mencapai bonus demografi. Peneliti kesehatan masyarakat sepakat bahwa intervensi gizi terpadu terutama pada anak usia sekolah merupakan langkah yang terbukti meningkatkan perkembangan kognitif, memperkuat imunitas, serta mendukung prestasi akademik. Berbagai penelitian global, termasuk studi UNICEF dan WHO, menegaskan bahwa program pemberian makan bergizi di sekolah (school feeding program) dapat memperbaiki kualitas belajar dan menurunkan angka putus sekolah. Dengan demikian, MBG bukan sekadar program sosial, melainkan investasi jangka panjang dalam human capital bangsa.

Selain aspek kesehatan dan pendidikan, program ini membawa potensi ekonomi yang besar. Jika dikelola dengan inklusif, MBG dapat menjadi motor penggerak ekonomi lokal. Pola serapan bahan pangan dari petani, UMKM, dan koperasi desa dapat menghidupkan rantai pasok pangan domestik. Pengalaman Brasil melalui program Zero Hunger menunjukkan bahwa pemberlakuan kuota pembelian dari petani lokal secara langsung meningkatkan pendapatan masyarakat desa dan menciptakan lapangan kerja baru. Indonesia memiliki peluang besar untuk menerapkan model serupa, mengingat sebagian besar bahan pangan dasar berasal dari sektor pertanian rakyat. Dengan kata lain, keberhasilan MBG berpotensi menciptakan efek ganda (multiplier effect) pada ketahanan pangan, perekonomian desa, dan distribusi pendapatan.

Namun demikian, serangkaian tantangan di fase awal implementasi menunjukkan bahwa program sebesar MBG tidak dapat dijalankan tanpa kesiapan yang matang. Laporan beberapa media internasional dan nasional menunjukkan masalah serius di lapangan. Salah satu isu paling mencolok adalah keterbatasan dapur (communal kitchen) di banyak sekolah dan daerah. Tanpa infrastruktur penyimpanan dan pengolahan makanan yang memadai, kualitas dan higienitas makanan dapat terancam. Kondisi ini diperburuk oleh laporan insiden keracunan makanan pada pelaksanaan tahap uji coba, yang memicu kekhawatiran publik terkait aspek keamanan pangan. Kejadian-kejadian tersebut menjadi alarm penting bagi pemerintah bahwa intervensi gizi tidak boleh hanya dikejar dari aspek kuantitas, tetapi harus mengedepankan standar mutu dan keamanan yang ketat.

Selain persoalan infrastruktur, tata kelola pengadaan menjadi tantangan besar yang harus ditangani dengan serius. Pengadaan bahan pangan dalam skala nasional membuka ruang risiko seperti monopoli pemasok, penyalahgunaan anggaran, dan ketidakterlibatan petani lokal. Padahal salah satu tujuan program ini adalah mendukung ekonomi daerah. Karena itu, transparansi mekanisme pengadaan dan pelibatan pemangku kepentingan lokal menjadi sangat penting. Pemerintah perlu memastikan bahwa kontrak pengadaan dipublikasikan secara terbuka, termasuk daftar pemasok dan besaran anggaran per wilayah. Penguatan pengawasan berbasis komunitas melalui komite sekolah, LSM, dan dinas terkait dapat menjadi model pengawasan partisipatif yang produktif.

Isu lain yang jarang dibahas namun krusial adalah kualitas gizi itu sendiri. Makanan bergizi bukan sekadar nasi dan lauk seadanya, melainkan komposisi seimbang yang memenuhi kebutuhan protein, mikronutrien, dan energi anak. Dalam beberapa evaluasi awal, terdapat ketidaksesuaian antara standar menu bergizi dengan makanan yang didistribusikan. Ketiadaan ahli gizi di beberapa daerah memperparah masalah ini. Tanpa standar menu yang jelas dan tenaga gizi yang memadai, sulit memastikan bahwa makanan yang diberikan benar-benar berdampak pada penurunan stunting dan peningkatan kualitas kesehatan.

Di sisi lain, program ini mendapat apresiasi karena menjadi salah satu bentuk jaminan sosial paling nyata bagi masyarakat miskin. Di tengah lonjakan harga pangan, satu porsi makanan sehat setiap hari sekolah membantu meringankan beban keluarga. Banyak anak di wilayah miskin berangkat ke sekolah tanpa sarapan. Dengan adanya makanan bergizi gratis, masalah tersebut dapat teratasi, meningkatkan kehadiran siswa, serta memperkecil kesenjangan partisipasi pendidikan antarwilayah. Bahkan, penelitian global menunjukkan bahwa intervensi makan di sekolah berbanding lurus dengan peningkatan daya serap pelajaran dan motivasi belajar.

Melihat dinamika tersebut, sangat jelas bahwa MBG memiliki potensi besar tetapi juga tantangan fundamental. Maka keberlanjutan program ini memerlukan strategi perbaikan yang komprehensif. Pemerintah perlu melakukan audit menyeluruh terhadap sarana dapur di sekolah, memastikan pelatihan bagi tenaga dapur dan petugas keamanan pangan, serta mengembangkan pedoman keamanan pangan yang sesuai standar WHO. Penguatan sistem pelaporan berbasis digital penting agar setiap pengiriman makanan dapat dimonitor dari pusat hingga daerah. Evaluasi berbasis data baik pada aspek gizi, kehadiran sekolah, maupun dampak ekonomi harus menjadi dasar perbaikan periodik.

Pada akhirnya, Makanan Bergizi Gratis adalah gagasan besar yang memerlukan tata kelola besar pula. Program ini tidak boleh dilihat sebagai proyek sesaat, melainkan bagian dari strategi nasional membangun generasi emas 2045. Di satu sisi, ia mampu mengurangi ketimpangan gizi, meningkatkan kualitas pendidikan, dan menggerakkan ekonomi daerah. Di sisi lain, tanpa perencanaan matang, pengawasan ketat, dan komitmen jangka panjang, program ini dapat mengulang kesalahan program sosial sebelumnya yang gagal karena lemahnya tata kelola.

Masyarakat tentu menyambut baik program ini, tetapi juga berhak memastikan pelaksanaannya berlangsung aman, bersih, transparan, dan berdampak nyata. Pemerintah harus menjadikan evaluasi publik tidak sebagai ancaman, melainkan sebagai bahan koreksi untuk memperkuat program. Jika semua pihak terlibat pemerintah pusat, pemerintah daerah, sekolah, ahli gizi, petani lokal, dan masyarakat maka MBG dapat menjadi tonggak sejarah dalam transformasi ketahanan gizi Indonesia.

Dengan segala potensi dan tantangannya, program Makanan Bergizi Gratis bukan hanya tentang makanan tetapi tentang masa depan bangsa. Menjaga generasi dari kelaparan adalah langkah pertama untuk memastikan mereka mampu mengejar mimpi mereka, dan pada akhirnya membawa Indonesia ke tingkat kemajuan yang lebih tinggi.**

Pilihan Redaksi
spot_img

Berita Terbaru