PUSAT KERAJAAN SRIWIJAYA: PERDEBATAN SEJARAWAN DAN ARKEOLOG DUNIA

Prof. Dr. Mukhtar Latif, M.Pd.
(Guru Besar UIN STS Jambi)

Posisi Strategis Geografis Sriwijaya: Indikator Kebenaran Sejarah

Redaksijambi.com.jambi,- Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai peradaban maritim terbesar di Asia Tenggara antara abad ke-7 hingga ke-13 M. Letaknya di jalur strategis Selat Malaka menjadikannya pusat perdagangan internasional antara India, Cina, dan dunia Arab (Coedès, 1918, p. 32). Namun, perdebatan mengenai lokasi pusatnya masih berlangsung hingga kini: Palembang, Jambi, atau Sumatera bagian tengah?

Secara geografis, Jambi memiliki keunggulan ekologis dan akses langsung ke Sungai Batanghari yang menghubungkan pesisir timur Sumatera dengan pedalaman dan Selat Malaka. Wilkinson (1901, p. 211) menyebut Jambi sebagai “the gate of Sumatra’s golden river,” menegaskan perannya sebagai simpul ekonomi dan kebudayaan sejak awal Masehi. Marsden (1811, p. 88) juga menulis bahwa jalur sungai Jambi adalah rute vital bagi kapal dagang dari India dan Cina jauh sebelum abad ke-7.

Letak strategis ini, menurut Wolters (1982, p. 93), menunjukkan indikator penting: pusat Sriwijaya kemungkinan berada di daerah yang mampu mengontrol lalu lintas sungai dan laut sekaligus — kondisi yang sepenuhnya dimiliki wilayah Jambi.

Bukti Fisik dan Arkeologis: Fakta yang Lebih Komprehensif

Bukti arkeologis menjadi kunci dalam menelusuri pusat kekuasaan Sriwijaya. Kompleks Candi Muaro Jambi merupakan situs terluas di Asia Tenggara dengan lebih dari sembilan candi besar, kanal kuno, dan struktur petirtaan yang menunjukkan aktivitas administratif dan keagamaan (Munandar, 2013, p. 54).

Ekskavasi menunjukkan kawasan ini meliputi area lebih dari 12 km², dan temuan fragmen perunggu, tembikar Cina abad ke-11, serta lempeng tembaga bertuliskan aksara Siddham yang mengaitkan vihara Muaro Jambi dengan India Selatan (Andhifani et al., 2025, p. 2). John N. Miksic (2013, p. 78) bahkan menyebut, “Muaro Jambi might have been one of the greatest Buddhist university centers in Southeast Asia,” sejajar dengan Nalanda di India.

Selain itu, ditemukan pula sisa kapal kuno dan peralatan logam di sepanjang Sungai Batanghari (Manguin, 1993, p. 147). Temuan ini memperkuat teori shifting center Wolters (1966, p. 107) bahwa pusat Sriwijaya berpindah ke hulu Batanghari (Jambi) setelah serangan Coladewa dari India Selatan pada abad ke-11.

Catatan Sejarah dan Perdebatan Para Peneliti Dunia

Perdebatan mengenai pusat Sriwijaya telah berlangsung lebih dari satu abad. Raffles (1830, p. 205) menganggap Palembang sebagai pusatnya, berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit (683 M) dan Talang Tuo (684 M). Namun, Coedès (1968, p. 73) menilai bahwa prasasti tersebut lebih menggambarkan wilayah ekspansi, bukan pusat pemerintahan.

Van Leur (1955, p. 88) dan George Wolters (1982, p. 97) menegaskan bahwa sumber Tionghoa hanya menyebut “a rich river port on the east coast of Sumatra,” tanpa menyebut Palembang. Anthony Reid (2004, p. 22) kemudian menambahkan bahwa Jambi memiliki kontinuitas budaya dan ekonomi lebih panjang daripada Palembang.

Dalam konteks lokal, arkeolog Indonesia Agus Aris Munandar (2013, p. 61) menyatakan bahwa bukti material di Jambi jauh lebih kompleks: sistem kanal, candi berlapis bata merah, sisa vihara, hingga urban planning kuno. UNESCO (2017, p. 56) menyebut, “Muaro Jambi is one of the most extensive archaeological temple compounds in Southeast Asia, associated with the ancient maritime empire of Srivijaya.”

Pendapat ini diperkuat penelitian internasional terbaru oleh Manguin & Christie (2021, p. 104) yang mengusulkan bahwa Sriwijaya adalah jaringan kosmopolitan dengan pusat administratif bergeser mengikuti faktor politik dan ekologi, dan Jambi merupakan pusat utama pada puncak kejayaan Buddhisme maritim abad ke-11.

Kebenaran Sejarah: Fondasi Peradaban Masa Depan

Toynbee (1957, p. 214) menegaskan bahwa bangsa yang memahami asal-usulnya memiliki ketahanan budaya yang tinggi menghadapi modernitas. Kebenaran sejarah bukan hanya tentang masa lampau, tetapi juga pijakan membangun masa depan peradaban.
Rekonstruksi sejarah Sriwijaya di Jambi adalah upaya merevitalisasi identitas bangsa dan kebanggaan Melayu Nusantara berdasarkan bukti ilmiah dan warisan arkeologis yang sahih.

Penutup

Perdebatan panjang tentang pusat Sriwijaya memperlihatkan bahwa sejarah tidak statis, melainkan terus ditafsir ulang seiring munculnya bukti baru. Saat ini, temuan arkeologis, epigrafis, dan sumber klasik menunjukkan kecenderungan kuat bahwa Jambi, dengan Kompleks Candi Muaro Jambi sebagai buktinya, merupakan pusat atau setidaknya jantung intelektual dan spiritual Sriwijaya.
Seperti dikatakan Nurcholish Madjid (1999, p. 203), “peradaban besar adalah yang mampu belajar dari sejarahnya sendiri.”
Dengan demikian, pengungkapan kebenaran sejarah Sriwijaya bukan sekadar nostalgia, tetapi langkah ilmiah menuju kebangkitan peradaban Melayu dan bangsa Indonesia di era modern.

Referensi;
1. Andhifani, R. A., Suryadi, T., & Munandar, A. A. (2025). Epigraphic Links between Sumatra and South India: The Siddham Copper Plates of Muaro Jambi. Journal of Southeast Asian Archaeology, 17(1), 1–8.

2. Casparis, J. G. de. (1956). Prasasti Indonesia I. Jakarta: Djambatan.

3. Coedès, G. (1918). Le Royaume de Srivijaya. Bulletin de l’École française d’Extrême-Orient, 18, 1–36.

4. Coedès, G. (1968). The Indianized States of Southeast Asia. Honolulu: University of Hawai‘i Press.

5. Marsden, W. (1811). The History of Sumatra. London: J. McCreery.

6. Manguin, P. Y. (1993). Trade Contacts and the Movement of Buddhism in Early Maritime Southeast Asia. Journal of the Economic and Social History of the Orient, 36(2), 143–161.

7. Manguin, P. Y., & Christie, J. W. (2021). Sriwijaya Revisited: Shifting Centres and Maritime Networks. Singapore: NUS Press.

8. Miksic, J. N. (2013). Singapore and the Silk Road of the Sea. Singapore: NUS Press.

9. Munandar, A. A. (2013). Muaro Jambi dan Dinamika Sriwijaya. Jakarta: UI Press.

10. Nurcholish Madjid. (1999). Islam: Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.

11. Raffles, S. (1830). The History of Java. London: John Murray.

13. Reid, A. (2004). An Indonesian Frontier: Acehnese and Other Histories of Sumatra. Singapore: NUS Press.

13. Snouck Hurgronje, C. (1906). The Achehnese. Leiden: Brill.

14. Toynbee, A. J. (1957). A Study of History. London: Oxford University Press.

15. UNESCO. (2017). Cultural Heritage Nomination Report: Muaro Jambi Temple Compound. Paris: UNESCO.

16. Van Leur, J. C. (1955). Indonesian Trade and Society. The Hague: Van Hoeve.

17. Wilkinson, R. J. (1901). A Malay-English Dictionary. Singapore: Kelly & Walsh.

18. Wolters, O. W. (1966). Early Indonesian Commerce. Ithaca: Cornell University Press.

19. Wolters, O. W. (1982). History, Culture, and Region in Southeast Asian Perspectives. Singapore: ISEAS.

20. Yule, H. (1886). The Book of Ser Marco Polo. London: John Murray.
———

Pilihan Redaksi

Berita Terbaru