Menggali Bumi, Menggali Keadilan: Menimbang Pemerataan Tambang di Era Prabowo dan Tantangan di Jambi

Oleh: Yulfi Alfikri Noer S. IP., M. AP
Akademisi UIN STS Jambi

Redaksijambi.com.- Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto memulai langkah besar dalam penataan sektor pertambangan. Dua agenda utama yang kini menjadi sorotan adalah penertiban tambang ilegal dan percepatan hilirisasi industri tambang. Keduanya diyakini menjadi kunci untuk mencapai pemerataan ekonomi dan kedaulatan sumber daya nasional. Namun, di balik optimisme itu, terdapat dinamika lapangan yang kompleks terutama di daerah penghasil seperti Provinsi Jambi, yang menjadi potret nyata antara potensi dan tantangan dalam pengelolaan tambang berkeadilan.

Presiden Prabowo dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa negara kehilangan potensi pendapatan sangat besar akibat maraknya aktivitas tambang tanpa izin. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat 1.063 titik tambang ilegal tersebar di Indonesia, dengan potensi kerugian negara mencapai Rp300 triliun per tahun. Penertiban tambang ilegal menjadi agenda prioritas dalam 100 hari kerja pemerintahan baru sebagai bagian dari upaya membangun tata kelola sumber daya alam yang transparan dan berpihak kepada kepentingan publik. Kita tidak boleh lagi membiarkan sumber daya negara dikelola di luar kendali hukum. Penertiban ini bukan sekadar penegakan hukum, tapi langkah untuk menyelamatkan masa depan ekonomi bangsa,” tegas Menteri ESDM dalam siaran resmi, September 2025.
Langkah penertiban itu berjalan beriringan dengan agenda hilirisasi tambang. Pemerintah berkomitmen mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah dengan membangun fasilitas pengolahan mineral di dalam negeri. Salah satu simbol transformasi itu adalah peresmian Pabrik Pemurnian Logam Mulia (PMR) PT Freeport Indonesia di Gresik, yang dikunjungi langsung oleh Presiden Prabowo pada Oktober 2025. Hilirisasi adalah jalan kedaulatan ekonomi. Kita ingin nilai tambah tambang dinikmati rakyat Indonesia, bukan hanya negara lain,” ujar Presiden dalam kunjungan tersebut (Setkab.go.id, 14 Oktober 2025).

Namun, semangat pemerataan nasional ini menghadapi ujian berat di daerah-daerah kaya sumber daya seperti Jambi. Provinsi ini selama bertahun-tahun menjadi salah satu sentra tambang batu bara dan emas, tetapi juga dikenal dengan maraknya PETI (Pertambangan Tanpa Izin). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Minerba ESDM (2024), Jambi tercatat memiliki lebih dari 60 lokasi PETI, dengan konsentrasi terbesar di Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo, dan Tebo. Aktivitas tambang ilegal ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga menimbulkan kerusakan ekologis dan sosial yang nyata dari pencemaran merkuri di Sungai Batanghari, lahan kritis di hulu DAS, hingga konflik horizontal di desa-desa tambang.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jambi tahun 2024 menunjukkan bahwa sektor pertambangan masih menjadi salah satu kontributor terbesar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), yaitu sebesar 13,42 persen dari total PDRB provinsi. Namun, angka ini belum sepenuhnya mencerminkan kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah tambang. Kontribusi sektor tambang memang signifikan terhadap ekonomi daerah, tetapi tantangan kita adalah memastikan manfaat itu juga dirasakan oleh masyarakat di sekitar tambang, ujar Kepala Bappeda Provinsi Jambi, dalam Forum Konsultasi Publik RKPD 2025.

Sementara itu, Pemerintah Provinsi Jambi terus melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum untuk menekan PETI. Sejak 2023, lebih dari 70 unit alat berat telah disita dari lokasi tambang ilegal. Namun, Gubernur Jambi Al Haris menegaskan bahwa penegakan hukum harus berjalan beriringan dengan solusi ekonomi rakyat. Tidak cukup hanya menertibkan, kita juga harus menciptakan lapangan kerja alternatif bagi masyarakat yang bergantung pada PETI. Karena akar masalahnya adalah ekonomi, bukan semata hukum, ujarnya dalam rapat koordinasi bersama Forkopimda, awal 2025.

Upaya itu selaras dengan strategi nasional: mengubah pola eksploitasi menjadi ekonomi bernilai tambah. Pemerintah daerah kini tengah mendorong sinergi antara sektor tambang, UMKM, dan pelatihan tenaga kerja lokal agar masyarakat Jambi dapat masuk ke rantai pasok hilirisasi. Program Dumisake Life Skill yang telah berjalan di 11 kabupaten/kota, misalnya, menjadi bagian penting untuk menyiapkan SDM lokal menghadapi transformasi industri.
Namun, tantangan besar masih terbentang. Hilirisasi tanpa tata kelola yang baik berisiko menciptakan monopoli rente baru, sementara penertiban tanpa pemberdayaan bisa memunculkan ketegangan sosial. Oleh karena itu, Jambi membutuhkan kebijakan tambang yang tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga menegakkan keadilan ekologis dan ekonomi lokal. Mekanisme transparansi royalti, audit lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat di sekitar tambang menjadi fondasi agar pemerataan tidak berhenti.

Pada akhirnya, pemerataan tambang bukan sekadar tentang menertibkan dan mengolah mineral, tetapi tentang membangun keseimbangan baru antara negara, pasar, dan rakyat. Jika strategi nasional dan lokal mampu berjalin dengan baik, Jambi bisa menjadi contoh bagaimana sumber daya alam dikelola bukan hanya untuk kekayaan, tapi juga untuk keberlanjutan dan martabat manusia. Sebab sejatinya, tambang bukan sekadar urusan menggali bumi, tetapi menggali keadilan, agar setiap tetes keringat rakyat di tanah penghasil, tak lagi hilang bersama debu tambang.***

Sumber : Diskominfoprov

Pilihan Redaksi

Berita Terbaru